“Tidak ada orang yang bodoh di dunia ini,
yang ada hanya orang yang pintar dan belum pintar”
Hari ini kamu suntuk berat. Meski udah mutusin buat ninggalin kelas dan kumpul dengan teman-teman yang lain, kamu masih tetap aja suntuk. Biasanya, kamu suntuk kalau udah ketemu dengan pelajaran yang penuh dengan angka-angka. Tapi biasanya bakalan hilang kalau kamu udah ninggalin kelas dan kumpul di markas dengan yang lain. Palingan ngobrol-ngobrol sambil makan, ada juga yang ngerokok, tapi kamu nggak. Awalnya ditawarin, tapi kamu menolak. Untungnya mereka nggak maksa-maksa terus. Paling ada beberapa yang masih coba nawarin, Cuma kamu sama sekali nggak tertarik.
Biasanya kalau udah kumpul di markas, kamu udah kembali enjoy lagi. Apalagi kadang ada yang iseng nyewa VCD atau ada yang bawa game dari rumah, terus kalian main bareng, Yah asyik lah pokoknya. Tapi hari ini, semua itu nggak bikin suntuk kamu hilang. kamu ngerasa kayaknya hari-hariku tuh nggak bermakna banget. Tiap hari bolos, ngobrol-ngobrol, main game atau nonton….sama sekali nggak bermakna kayaknya. Sempat pengen nyoba ikut belajar sama yang lain. Tapi, kamu nggak yakin hal itu bisa hilangin kesuntukkan kamu .
Kamu melihat beberapa teman kamu masih ada yang sibuk ngerokok sambil ngobrol dan ada yang lagi nonton VCD. Kali ini film yang mereka sewa lebih nggak bermoral dari yang kemarin. Sebenarnya pengen nonton, tapi kamu lagi suntuk berat. kamu rasa film itu nggak banyak ngebantu. Tadinya ada yang nyaranin buat ngerokok. Tapi sekali lagi kamu menolak. Sebenarnya bukan karena nggak mau. Tapi kamu bukan anak orang berada. Kalau kamu jadi kecanduan, kamu nggak bakal bisa beli seperti mereka. Masa mau minta terus…….
Akhirnya kamu mutusin buat keluar dari markas, tentunya setelah pamit dengan yang lain.
“Mau kemana (nma kmu)?” Langkah kamu pun terhenti.
“Keluar. Aku suntuk,” jawab kamu pendek.
“Sudah, di sini aja!!! Udah ku bilang, kamu tuh ngerokok aja.”
“Thanks guys, tapi aku lagi pengen hirup udara luar,” elak kamu.
“Jangan bilang kamu mau balik ke kelas!!”
kamu tersenyum tipis.
”Kamu kayak nggak kenal aku aja. Aku pergi ya guys.”
kamu pun melangkahkan kaki keluar markas. Mereka sempat merhatiin kamu keluar, tapi sesaat kemudian, mereka sudah kembali dengan aktifitas masing-masing.
kamu melangkahkan kaki tak tentu arah. kamu bingung mau kemana. Pulang? Ngapain? Mau cari masalah sama Emak. Terus kamu musti ke mana. kamu benar-benar sangat suntuk. Akhirnya kamu memutuskan untuk terus melangkah entah ke mana. Mungkin langkah kamu ini yang akan menunjukkan kemana kamu harus pergi.
Setelah sekian lama melangkah, kamu berhenti. Di depan kamu tampak pemandangan yang menurut kamu amat mengherankan. Tiga orang pemuda seusia kamu sedang menghitung hasil penjualan. Sepertinya, mereka berjualan koran. kamu mengernyitkan dahi, heran. Bukankah sudah lama ditetapkan kalau semua anak bisa sekolah tanpa dipungut biaya. Selama ini, kamu sekolah tanpa harus bayar SPP atau uang masuk dan sejenisnya. Bahkan belakangan ini anak jalanan sudah jarang terlihat karena mereka sudah bisa sekolah. Tapi, kenapa mereka nggak sekolah?
Entah kenapa tiba-tiba kamu menjadi tertarik dengan mereka. Dengan perlahan kamu mendekat ke arah mereka. Mereka terlihat lelah. Tapi, tampak kepuasan di wajah mereka. Mungkin korannya laku terjual. kamu duduk tepat di samping mereka. Sekilas, mereka memperhatikan kamu . Tapi kemudian, kembali sibuk menghitung hasil penjualan koran mereka.
“Kamu nggak sekolah?” Tiba-tiba salah seorang dari mereka yang berpostur paling kecil bertanya pada kamu .
kamu terkejut. Sepertinya dia tertarik dengan kamu.
” Memangnya kenapa?” kamu balas bertanya.
“Bukannya sekarang jam sekolah, seharusnya kamu nggak berada di sini.” Kali ini yang menyahut adalah laki-laki yang satunya lagi, yang berkulit paling hitam.
“Lagi malas,” jawab kamu mulai agak suntuk dengan “wawancara” ini.
“Oh.” Sahutan pendek itu terlontar dari anak yang paling kurus di antara mereka.
“Sayang banget ya Bud.” Si hitam itu kembali bersuara, kali ini tidak ditujukan pada kamu, tetapi kepada si kurus.
Si kurus hanya mengangguk.
“Sayang kenapa?”
kamu yang mendengarnya tiba-tiba tertarik untuk bertanya. Mereka nggak sekolah sih, makanya nggak tahu, betapa suntukknya berada di kelas, dikelilingi semua temanmu yang seolah penuh semangat ketika rumus-rumus itu memutari otaknya dan berusaha masuk ke dalamnya. Sementara kepalamu sudah hampir mengeluarkan seluruh isinya karena sudah penuh dengan rumus.
Mereka nampak terkejut dengan pertanyaan kamu
”Nanti kamu marah,” ucap si kecil.
“Mungkin nggak,’ jawab kamu pendek.
Mereka terdiam sejenak.
”Kami bertiga pengen sekolah. Tapi nggak bisa,” ucap si hitam.
kamu mengernyitkan dahiku lagi.
”Kenapa nggak bisa, sekarang kan sekolah udah gratis.”
“Emangnya kamu mau dengar cerita kita?” tanya si hitam.
kamu mengangguk.
*****
Ternyata mereka bertiga nggak sekolah karena nilai mereka tidak mencukupi. Si kecil, memang anak orang tak punya. Dulunya waktu SMP terlalu sibuk bantu bapaknya, ditambah dia sendiri kurang serius belajar, makanya nilai ujiannya jeblok abis. Untungnya dia masih bisa lulus.
Si hitam anak orang nggak punya juga. Bedanya, dia tuh punya otak pas-pasan banget. Udah dijelasin sekian kali, dia masih tetap nggak ngerti, Dia sih pengennya privat ama gurunya biar bisa ngerti. Tapi bapaknya nggak punya uang buat bayar les. Ditambah lagi teman-temannya pada sibuk belajar sendiri karena takut nggak lulus. Jadinya, dia cuma ngandalin otak pas-pasannya itu. Akhirnya dia lulus dengan nilai paling tinggi dari bawah. Sedangkan si kurus, udah belajar, les ini itu, tapi tetap aja nilainya jeblok. Menurutnya, dia nggak pernah konsen kalau les dan belajar. Makanya nilainya ancur kayak yang lain.
Mereka bertiga nggak diterima di sekolah negeri karena nilai mereka yang jeblok itu. Mungkin mereka bisa diterima kalau di sekolah swasta atau dengan membayar lebih atau istilahnya ‘uang pelicin’. Tapi mereka punya uang dari mana? Makanya akhirnya mereka mutusin buat jualan koran. Daripada diam di rumah menyesali nasib mereka.
Hal itu kemudian menjadi pelajaran buat mereka. Jika saja ada kesempatan, mereka ingin sekali memperbaiki diri, mencoba untuk serius belajar, sehingga mereka tidak akan mengalami lagi apa yang telah mereka alami sekarang ini.
“Mungkin dengan jual koran, kita bisa bayar uang untuk masuk sekolah swasta,” celetuk si hitam.
Keinginan besar mereka untuk sekolah membuatku tersentak. Dengan begitu mudahnya, kamu bisa masuk ke salah satu sekolah favorit karena dulu kamu masih serius belajar. Dan sekarang, kamu malah menyia-nyiakannya dengan membolos seperti ini hanya dengan alasan karena otak kamu tuh udah jenuh. Terlalu penuh dengan rumus-rumus. Sementara masih ada orang yang ingin sekolah, tapi nggak bisa sekolah.
Apa yang bisa kamu lakukan sekarang. kamu hanya seorang (nma kmu), pelajar yang sama sekali nggak ada gunanya, selalu membolos. kamu bisa berbuat apa untuk mereka, sedangkan untuk memikirkan diri kamu sendiri aja kamu nggak pernah. kamu nggak pernah mikir, mau jadi apa kamu ini, kok malah nggak peduliin pendidikan kamu kayak gini.
Tiba-tiba terbersit dalam hati kamu , suatu saat nanti kamu akan mengubah pendidikan ini. Kenapa mereka nggak diberi kesempatan untuk sekolah. Hanya gara-gara nilai mereka jelek? Padahal, sekolah kan bertugas membuat siswa yang awalnya mendapat nilai jelek menjadi lebih pintar dan dapat mengubah nilai jeleknya itu. Tapi faktanya, sekolah hanya bisa mengajar anak yang pada dasarnya sudah pintar, menjadi tambah pintar. Lalu yang belum pintar tidak diizinkan sekolah, sehingga akhirnya mereka tidak akan pernah menjadi pintar.
Sebenarnya setiap manusia memiliki potensi untuk menjadi pintar. Karena pada dasarnya manusia itu sama-sama memiliki akal yang mampu membuatnya menjadi lebih dari yang lain, serta memiliki otak yang mampu menyimpan hal-hal baru yang mereka temui, hingga seluruh dunia dan segala isinya akan ada di kepala mereka. Mungkin kamu harus membantu mereka mewujudkan itu. Meskipun kamu tidak bisa membantu mereka untuk bisa bersekolah, tapi kamu rasa, masih ada yang bisa kamu lakukan saat ini.
kamu mengeluarkan beberapa buah buku dari tas kamu .
“Kalian bisa baca ini setelah berjualan,” ucap kamu sambil memberikan buku –buku pelajaran kamu pada mereka. “Besok aku akan datang lagi. Nanti akan kuajarkan apa yang kudapatkan di kelas pada kalian. Gratis,” lanjut kamu lagi.
Mereka tersenyum pada kamu , pancaran mata mereka terlihat berbinar-binar.
“Makasih ya,” ucap mereka.
Sungguh, kamu merasa terharu sekali dengan ucapan itu. Baru kali ini kamu merasa bahwa keberadaan kamu berguna. Walau hanya sekedar meminjamkan buku yang kamu punya, dan memberikan sedikit dari apa yang kamu dapat di sekolah, kamu merasa menjadi seseorang yang lebih berarti dari sebelumnya.
Mungkin ini tak ada apa-apanya, Teman. Hanya ini yang bisa kamu lakukan untuk kalian. Karena kalian, kamu tak tertarik untuk bolos lagi. Karena kamu sudah berjanji akan mengubah pendidikan ini. Pendidikan ini nggak akan biasa kamu ubah kalau kamu sendiri tak berpendidikan. kamu berjanji, suatu saat nanti nggak akan ada lagi anak-anak sekolah yang akan mengalami nasib yang sama dengan mereka.
Setelah ini kamu berharap, masih ada lagi yang bisa kamu lakukan.kamu sangat berharap semua teman-teman kamu di markas akan mengalami hal yang sama dengan yang kamu alami. kamu akan menceritakan pengalaman kamu bertemu teman-teman baru itu kepada mereka. Semoga saja mereka mau membantu kamu . Sehingga akan semakin banyak generasi-generasi muda berprestasi yang akan mampu mengubah dunia ini.(●*∩_∩*●)
Setiap orang memiliki kemampuan yang berbeda.
Ada yang pintar dan ada yang belum pintar.
Dan penddikan bertugas mengubah yang pintar menjadi lebih pintar
Serta yang belum pintar menjadi pintar.
isi hatiku tentang ketidak adilan pendidikan di Indonesia.
ku harap banyak yang merespon positif dari bacaan d.atas.
I hate education in Indonesia
┌∩┐(◣_◢)┌∩┐
Tidak ada komentar:
Posting Komentar